Masjid Banyumurup

Masjid Banyusumurup yang terletak di Girireja, Imogiri, Bantul, Yogyakarta masih menyimpan benda-benda yang konon merupakan benda-benda yang dibuat sezaman dengan pembuatan kompleks Makam Banyusumurup. Benda-benda tersebut adalah Al Quran, bedhug, kentongan, dan mimbar.



Masjid ini berdiri di atas tanah seluas 538 m persegi. Luas bangunan adalah 228 m persegi. Atap masjid ini berbentuk limasan dan disangga oleh 4 buah tiangn. Serambi depan berukuran 11,70 x 6,40 m. Serambi kanan berukuran 9.40 x 2,50 m. Serambi kanan saat ini digunakan untuk menyimpan benda-benda seperti yang telah disebut di atas.

Masjid yang tergolong tua dan berumur lebih dari 300 tahunan itu, memiliki khas sebagai tempat ibadah peninggalan pembesar kerajaan Mataram dahulunya merupakan salah satu dari rangkaian penyebaran Agama Islam semasa Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Oleh karenanya jangan heran apabila melihat arsitektur masjid dan serambinya tampak seragam dengan masjid Pajimatan, masjid kota gede, dan masjid masjid yang menjadi peninggalan pembesar kraton, di lain tempat.

Masjid Banyusumurup tampak masih kuat, dimana bagian tiang bangunan serambinya yang berbahan kayu jati menjadi kebanggaan tersendiri.  Selain itu usuk yang di desain dan terpasang dengan ornament ruji payung juga tampak menawan.
Meskipun masjid di kala itu berada lembah yang di apit dengan perbukitan yang sepi, tetapi ketika di zaman modern seperti sekarang ini daerah tersebut sudah ramai penduduk beserta rumahnya.


Memperbincangkan Masjid Keraton Banyusumurup tak lepas dari keberadaan dua masjid lain, Masjid Pajimatan dan Sunan Cirebon. Keduanya berada di Imogiri, Bantul. Ketiga masjid tersebut dibangun oleh Sultan Agung.

Pajimatan dibangun untuk tempat ibadah para abdi dalem, sedangkan Masjid Sunan Cirebon khusus bagi sahabat karib Sultan Agung. Masjid Banyusumurup dibangun saat Sultan Agung mencari lokasi untuk makam raja-raja.

"Setelah meninggalkan Giriloyo dan membangun Masjid Sunan Cirebon, Sultan Agung lantas ke sini. Saat tiba di Banyusumurup, ia kehausan dan kelelahan. Saat itu, ia menemukan sumur namun tak ada airnya, makanya daerah sini disebut Banyusumurup," kata Rohmat Hidayat, Ketua Takmir Masjid Keraton Banyusumurup, Rabu (1/9).

Masih menurut kisah yang diceritakan turun-temurun, selama beristirahat, Sultan Agung membangun masjid sebagai sarana dakwah, tepatnya tahun 1668. Awalnya, masjid diberi nama Banyusumurup saja. Namun, karena dibangun oleh keluarga keraton maka ditambahkan namanya menjadi Masjid Keraton Banyusumurup.

Meskipun sudah berusia ratusan tahun, kondisi bangunan masjid masih tampak kokoh kuat. Bangunan utama berbentuk joglo, sedangkan bagian serambi berbentuk limasan.

"Seluruh tiang joglo dan limasan, termasuk usuk-usuknya, masih asli. Hanya reng dan genteng yang kami ganti. Keaslian juga terlihat dari mustaka masjid," katanya. Sebagian masjid di Yogyakarta yang dibangun ratusan tahun lalu menggunakan model joglo, yang sebagian di antaranya sudah direnovasi skala besar. Keaslian kondisi Masjid Keraton Banyusumurup, seperti diungkapkan Rohmat, terbilang istimewa.

Di samping keaslian bangunan, beberapa perlengkapan masjid yang tergolong kuno adalah bedug, meja, lemari, mimbar, dan lampu gantung. Masjid tersebut juga dilengkapi ruangan pawastren yang dulu dipakai untuk lokasi ibadah perempuan.

Namun, ruangan tersebut sekarang beralih fungsi menjadi perpustakaan. Jemaah perempuan berada di belakang jemaah laki-laki. Untuk keperluan rumah tangga, masjid juga dilengkapi bangunan dapur.

Rusak karena gempa

Saat gempa bumi 2006, Masjid Banyusumurup rusak parah. Tembok- temboknya hancur sehingga harus direnovasi. Semua tembok dirobohkan lalu diganti batu bata baru. Begitu juga bagian jendela yang diganti dengan kaca.

"Seluruh dananya bersumber dari swadaya masyarakat sebesar Rp 57 juta. Sebenarnya kami sudah mengajukan bantuan ke keraton tetapi tidak mendapatkan respons. Maka masyarakat memilih gerak sendiri," ujar Rohmat.

Oleh karena tergolong masjid milik keraton, Masjid Banyusumurup juga dijaga 10 abdi dalem. Namun, keberadaan mereka sudah tidak eksis.

Pengelola masjid diambil alih masyarakat sekitar dengan membentuk takmir atau pengurus. Kondisi itu berbeda dengan Masjid Pajimatan dan Sunan Cirebon yang hingga kini masih dijaga para abdi dalem, yang sebagian turun-temurun.

"Hanya sesekali saja para abdi dalem ke masjid. Biasanya saat hari Jumat. Selama Ramadhan, mereka juga menggelar khataman bagi yang sudah lulus membaca 30 juz Al Quran," papar Rohmat.

Selama Ramadhan, Masjid Keraton Banyusumurup penuh dengan aktivitas kerohanian bagi anak-anak hingga orang dewasa. Kegiatan bagi anak-anak digelar setiap sore, berupa pengajian khusus anak. Adapun hari Minggu sore digelar pengajian bagi kalangan umum




0 komentar:

Posting Komentar